Archive for the ‘Publikasi Hasil Penelitian’ Category

Konsep Tipologi Penggunaan Fungisida di Malang Raya

Konsep Tipologi Penggunaan Fungisida

di Malang Raya

Moch. Agus Krisno Budiyanto, Abdulkadir Rahardjanto,

Samsun Hadi, Diani Fatmawati

Program Studi Pendidikan Biologi

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Malang

Jl. Tlogomas 246 Malang Telp. 464318, HP: 085234620855, Email: aguskrisno.gbf@gmail.com

 

 

ABSTRAK

Penelitian ini memiliki tujuan untuk menganalisis tipologi penggunaan fungisida di Malang Raya.Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatiif  yaitu suatu penelitian yang ingin mendiskripsikan fakta dengan menggunakan teori tertentu. Informan penelitian adalah 15 petani di  Malang Raya. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Analisis data yang digunakan  dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dengan cara analisis isi.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: 1) Tipologi penggunaan fungisida di Kota Batu, Kota Malang, dan Kabupaten Malang termasuk dalam tipologi Alterative Movement (gerakan alternatif), 2) Berbagai media edukasi publik yang digunakan (penyuluhan oleh pengurus kelompok tani/sales produk/ pemerintah daerah, pertemuan rutin bulanan, poster, dan leaflet) baru bisa menyebabkan perubahan pada sebagian anggota kelompok tani saja dalam hal penggunaan fungisida.  3) Penggunaan fungisida organik kurang efektif dan kurang massif di Kota Malang dan Kota Batu tetapi cukup efektif di Kabupaten Malang.

Kata Kunci: Tipologi, Fungisida, Oganik, Sintesis, Malang

 

PENDAHULUAN

Fungisida adalah pestisida yang secara spesifik membunuh atau menghambat cendawan penyebab penyakit.  Fungisida dapat berbentuk cair (paling banyak digunakan), gas, butiran, dan serbuk.  Perusahaan penghasil benih biasanya menggunakan fungisida pada benih, umbi, transplan akar, dan organ propagatif lainnya, untuk membunuh cendawan pada bahan yang akan ditanam dan melindungi tanaman muda dari cendawan patogen.  Selain itu, penggunaan fungisida dapat digunakan melalui injeksi pada batang, semprotan cair secara langsung, dan dalam bentuk fumigan (berbentuk gas yang disemprotkan). Fungisida dapat diklasifikasikan menjadi dua golongan, yaitu fungisida selektif (fungisida sulfur, tembaga, quinon, heterosiklik) dan non selektif (fungisida hidrokarbon aromatik, anti-oomycota, oxathiin, organofosfat, fungisida yang menghambat sintesis sterol, serta fungisida sistemik lainnya).  Fungisida selektif membunuh jamur tertentu namun tidak menyakiti jamur lainnya.Fungisida juga dapat dikategorikan sebagai fungisida kontak, translaminar, dan sistemik. Fungisida kontak hanya bekerja di bagian yang tersemprot. Fungisida translaminar mengalir dari bagian yang disemprot (daun dan bagian atas tanaman) ke bagian yang tidak disemprot (ke bawah). Fungisida sistemik diserap oleh tumbuhan dan didistribusikan melalui sistem pembuluh tanaman (Adnyana, 2011, Apriani   2014).

Menurut Herminarto (2006) dan Adawiah (2014) tingkat residu fungisida methyl thiophanate pada tanah tanaman kentang di Batu dan Tumpang dapat menekan populasi jamur tanah.  Residu tertinggi diperoleh dari waktu pengukuran 1 minggu sebelum panen kentang  (37,0782 ppm) meskipun tidak berbeda nyata dengan waktu pengkuran 6 minggu sebelum panen (36,0236 ppm). Tingkat populasi jamur terendah diperoleh pada waktu pengambilan sampel 1 minggu sebelum panen kentang (12.900 jamur/gram tanah) meskipun tidak berbeda nyata dengan waktu pengambilan sampel tanah 6 minggu sebelum panen (14.000 jamur/gram tanah).  Pengujian fungisida methyl thiophanate secara in-vitro dengan metode umpan beracun dan kertas saring menunjukkan konsentrasi 0 ppm, 25 ppm, 50 ppm dan 75 ppm belum dapat menghambat pertumbuhan jenis jamur tanah, namun pada konsentrasi 100 ppm dapat menghambat pertumbuhan jenis jamur tanah.  Konsentrasi 25 ppm dengan metode umpan beracun dapat menghambat jamur Fusarium solani , Rhizoctonia solani, Aspergillus niger, Rhyncosporium secalis, sedangkan dengan metode kertas saring  konsentrasi 25 ppm dapat menghambat pertumbuhan jamur Fusarium solani dan Aspergillus niger. Tingginya residu fungisida methyl thiophanate disebabkan penggunaan fungisida yang terlalu sering dengan konsentrasi yang berlebih.

Penelitian dirancang untuk mencapai tujuan penelitian sebagai berikut.

  1. Menganalisis tipologi penggunaan fungisida sintesis di Malang Raya.
  2. Menganalisis tipologi penggunaan fungisida organik di Malang Raya.

 

 

 

 

TINJAUAN PUSTAKA

Fungisida

Menurut  Djodjosumarto (2000)  fungisida adalah senyawa kimia beracun untuk memberantas dan mencegah perkembangan fungi atau jamur. Penggunaan fungisida adalah termasuk dalam pengendalian secara kimia. Adapun keuntungan yang diperoleh dari penggunaan fungisida adalah: 1) 1.  mudah diaplikasikan, 2) memerlukan sedikit tenaga kerja, 3) penggunaanya praktis, 4)  jenis dan ragamnya bervariasi, dan 5) hasil pengendalian tuntas.

Fungisida dapat berbentuk cair (paling banyak digunakan), gas, butiran, dan serbuk. Perusahaan penghasil benih biasanya menggunakan fungisida pada benih, umbi, transplan akar, dan organ propagatif lainnya, untuk membunuh cendawan pada bahan yang akan ditanam dan melindungi tanaman muda dari cendawan patogen. Selain itu, penggunaan fungisida dapat digunakan melalui injeksi pada batang, semprotan cair secara langsung, dan dalam bentuk fumigan (berbentuk gas yang disemprotkan). Fungisida dapat diklasifikasikan menjadi dua golongan, yaitu fungisida selektif (fungisida sulfur, tembaga, quinon, heterosiklik) dan non selektif (fungisida hidrokarbon aromatik, anti-oomycota, oxathiin, organofosfat, fungisida yang menghambat sintesis sterol, serta fungisida sistemik lainnya) (Mc Ewen, 2009 ).

Menurut  Adawiah  (2014) fungisida umumnya dibagi menurut cara kerjanya di dalam tubuh tanaman sasaran yang diaplikasi, yakni fungisida nonsistemik, sistemik, dan sistemik local. Pada fungisida, terutama fungisida sistemik dan non sistemik, pembagian ini erat hubungannya dengan sifat dan aktifitas fungisida terhadap jasad sasarannya.

  1. Fungisida Nonsistemik

Fungisida nonsistemik tidak dapat diserap dan ditranslokasikan didalam jaringan
Tanaman. Fungisida nonsistemik hanya membentuk lapisan penghalang di permukaan tanaman (umumnya daun) tempat fungisida disemprotkan. Fungisida ini hanya berfungsi mencegah infeksi cendawan dengan cara menghambat perkecambahan spora atau miselia jamur yang menempel di permukaan tanaman. Karena itu, fungisida kontak berfungsi sebagai protektan dan hanya efektif bila digunakan sebelum tanaman terinfeksi oleh penyakit. Akibatnya, fungisida nonsistemik harus sering diaplikasikan agar tanaman secara terus-menerus terlindungi dari infeksi baru.

  1. Fungisida Sistemik

Fungisida sistemik diabsorbsi oleh organ-organ tanaman dan ditranslokasikan ke bagian tanaman lainnya melalui pembuluh angkut maupun melalui jalur simplas (melalui dalam sel). Pada umumnya fungisida sistemik ditranslokasikan ke bagian atas (akropetal), yakni dari organ akar ke daun. Beberapa fungisida sistemik juga dapat bergerak ke bawah, yakni dari daun ke akar (basipetal).

Kelebihan fungisida sistemik antara lain :

(a)  Bahan aktif langsung menuju ke pusat infeksi didalam jaringan tanaman, sehingga mampu menghambat infeksi cendawan yang sudah menyerang di dalam jaringan tanaman.

(b)  Fungisida ini dengan cepat diserap oleh jaringan tanaman kemudian didistribusikan ke seluruh bagian tanaman sehingga bahan aktif dan residunya tidak terlalu tergantung pada coverage semprotan, selain itu bahan aktif juga tidak tercuci oleh hujan. Oleh karena itu, aplikasinya tidak perlu terlalu sering.

  1. Fungisida Sistemik Lokal

Fungisida sistemik lokal diabsorbsi oleh jaringan tanaman, tetapi tidak ditranslokasikan ke bagian tanaman lainnya. Bahan aktif hanya akan terserap ke sel-sel jaringan yang tidak terlalu dalam dan tidak sampai masuk hingga pembuluh angkut.

Menurut Adawiah (2014 Menurut mekanisme kerjanya, fungisida dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:

  1. Multisite Inhibitor

Multisite inhibitor adalah fungisida yang bekerja menghambat beberapa proses metabolisme cendawan. Sifatnya yang multisite inhibitor ini membuat fungisida tersebut tidak mudah menimbulkan resistensi cendawan. Fungisida yang bersifat multisite inhibitor (merusak di banyak proses metabolisme) ini umumnya berspektrum luas. Contoh bahan aktifnya adalah maneb, mankozeb, zineb, probineb, ziram, thiram.

  1. Monosite Inhibitor

Monosite inhibitor disebut juga sebagai site specific, yaitu fungisida yang bekerja dengan menghambat salah satu proses metabolisme cendawan, misalnya hanya menghambat sintesis protein atau hanya menghambat respirasi. Sifatnya yang hanya bekerja di satu tempat ini (spectrum sempit) menyebabkan mudah timbulnya resistensi candawan. Contoh bahan aktifnya adalah metalaksil, oksadisil, dan benalaksil.

Pengelompokan fungisida dapat di lakukan berdasarkan pada berbagai cara dan kepentingan yang berbeda sehingga pada umumnya bersifat tidak tetap.
Beberapa fungisida bersifat bersifat sebagai protektan dapat di gunakan pada benih atau tumbuhan yang belum  terserang penyakit,dengan tujuan melindungi benih dan menghindarkannya dari cendawan. Hal ini di sebabkan oleh spora pada permukaan atau di bagian dalamnya terdapat misellium yag berada pada keadaan dorman.

Menurut Pimentel (2002), Smith (2008-a), dan Smith (2008-b) Pestisida sebelum digunakan harus diformulasi terlebih dahulu. Pestisida dalam bentuk murni biasanya diproduksi oleh pabrik bahan dasar, kemudian dapat diformulasi sendiri atau dikirim ke formulator lain. Oleh formulator baru diberi nama.  Berikut ini beberapa formulasi pestisida yang sering dijumpai:

  1. Cairan emulsi (emulsifiable concentrates/emulsible concentrates)

Pestisida yang berformulasi cairan emulsi meliputi pestisida yang di belakang nama dagang diikuti oleb singkatan ES (emulsifiable solution), WSC (water soluble concentrate). B (emulsifiable) dan S (solution). Biasanya di muka singkatan tersebut tercantum angka yang menunjukkan besarnya persentase bahan aktif. Bila angka tersebut lebih dari 90 persen berarti pestisida tersebut tergolong murni. Komposisi pestisida cair biasanya terdiri dari tiga komponen, yaitu bahan aktif, pelarut serta bahan perata. Pestisida golongan ini disebut bentuk cairan emulsi karena berupa cairan pekat yang dapat dicampur dengan air dan akan membentuk emulsi.

 

  1. Butiran (granulars)

Formulasi butiran biasanya hanya digunakan pada bidang pertanian sebagai insektisida sistemik. Dapat digunakan bersamaan waktu tanam untuk melindungi tanaman pada umur awal. Komposisi pestisida butiran biasanya terdiri atas bahan aktif, bahan pembawa yang terdiri atas talek dan kuarsa serta bahan perekat. Komposisi bahan aktif biasanya berkisar 2-25 persen, dengan ukuran butiran 20-80 mesh. Aplikasi pestisida butiran lebih mudah bila dibanding dengan formulasi lain. Pestisida formulasi butiran di belakang nama dagang biasanya tercantum singkatan G atau WDG (water dispersible granule).

  1. Debu (dust)

Komposisi pestisida formulasi debu ini biasanya terdiri atas bahan aktif dan zat pembawa seperti talek. Dalam bidang pertanian pestisida formulasi debu ini kurang banyak digunakan, karena kurang efisien. Hanya berkisar 10-40 persen saja apabila pestisida formulasi debu ini diaplikasikan dapat mengenai sasaran (tanaman).

  1. Tepung (powder)

Komposisi pestisida formulasi tepung pada umumnya terdiri atas bahan aktif dan bahan pembawa seperti tanah hat atau talek (biasanya 50-75 persen). Untuk mengenal pestisida formulasi tepung, biasanya di belakang nama dagang tercantum singkatan WP (wettable powder) atau WSP (water soluble powder).

  1. Oli (oil)

Pestisida formulasi oli biasanya dapat dikenal dengan singkatan SCO (solluble concentrate in oil). Biasanya dicampur dengan larutan minyak seperti xilen, karosen atau aminoester. Dapat digunakan seperti penyemprotan ULV (ultra low volume) dengan menggunakan atomizer. Formulasi ini sering digunakan pada tanaman kapas.

 

Dampak Penggunaan Fungisida

Menurut Hidayat (1981) DAN Hriday (2006) tingkat residu fungisida methyl thiophanate pada tanah tanaman kentang di Batu dan Tumpang dapat menekan populasi jamur tanah.  Residu tertinggi diperoleh dari waktu pengukuran 1 minggu sebelum panen kentang  (37,0782 ppm) meskipun tidak berbeda nyata dengan waktu pengkuran 6 minggu sebelum panen (36,0236 ppm). Tingkat populasi jamur terendah diperoleh pada waktu pengambilan sampel 1 minggu sebelum panen kentang (12900 jamur/gram tanah) meskipun tidak berbeda nyata dengan waktu pengambilan sampel tanah 6 minggu sebelum panen (14.000 jamur/gram tanah).  Pengujian fungisida methyl thiophanate secara in-vitro dengan metode umpan beracun dan kertas saring menunjukkan konsentrasi 0 ppm, 25 ppm, 50 ppm dan 75 ppm belum dapat menghambat pertumbuhan jenis jamur tanah, namun pada konsentrasi 100 ppm dapat menghambat pertumbuhan jenis jamur tanah.  Konsentrasi 25 ppm dengan metode umpan beracun dapat menghambat jamur Fusarium solani , Rhizoctonia solani, Aspergillus niger, Rhyncosporium secalis, sedangkan dengan metode kertas saring  konsentrasi 25 ppm dapat menghambat pertumbuhan jamur Fusarium solani dan Aspergillus niger. Tingginya residu fungisida methyl thiophanate disebabkan penggunaan fungisida yang terlalu sering dengan konsentarsi yang berlebih.

Fungisida dapat menimbulkan ketahanan pada patogen tanaman yang menyebabkan bahan kimia tidak mempan digunakan, terbunuhnya mikroba bukan sasaran dan munculnya patogen sekunder yang lebih berbahaya, menambah biaya produksi karena semakin mahalnya harga bahan kimia, menyebabkan polusi lingkungan terutama air tanah dan tanah, memengaruhi kesehatan petani dan keluarganya terutama bila yang berhadapan langsung di lapangan adalah ibu yang sedang hamil atau menyusui, dan memengaruhi kesehatan konsumen yang mengonsumsi produk pertanian tercemar bahan kimia tersebut. Oleh karena itu, untuk mencegah atau menghindari dampak negatif tersebut, perlu diupayakan pengembangan dan pemanfaatan pestisida yang ramah lingkungan yaitu pestisida organik, yang merupakan salah satu cakupan ”revolusi hijau lestari”, untuk menunjang tercapainya ketahanan pangan yang kokoh kuat (Ghose, 2004 dalam Adnyana, 2011, Mulyani, 2002, Nuraini, 2014).

Menurut Girsang (2009), Sekarsari (2013), dan Untung (2007)  pemakaian pestisida, khususnya pestisida sintetis ibarat pisau bermata dua. Dibalik manfaatnya yang besar bagi peningkatan produksi pertanian, terselubung bahaya yang mengerikan. Tak bisa dipungkiri, bahaya  pestisida semakin nyata dirasakan masyarakat, terlebih akibat penggunaan pestisida yang tidak bijaksana. Kerugian berupa timbulnya dampak buruk penggunaan pestisida, dapat dikelompokkan atas 3 bagian : (1). Pestisida berpengaruh negatip terhadap kesehatan manusia, (2). Pestisida berpengaruh buruk terhadap kualitas lingkungan, dan (3). Pestisida meningkatkan perkembangan populasi jasad penganggu tanaman.

 

Tipologi Gerakan Sosial

Menurut Aberle dalam Kornblum (2009)  tipologi adalah upaya mengelompokan sesuatu berdasarkan karaterisktik tertetntu. Terdapat  empat tipe gerakan sosial dalam bidang pertanian adalah sebagai berikut:

  1. 1. Alterative Movement

Gerakan ini merupakan gerakan yang bertujuan untuk merubah sebagian perilaku perorangan. Dalam kategori ini dapat kita masukan berbagai penyuluhan, pertemuan, promosi, penyebaran leaflet/brosur yang kadangkala dilakukan untuk merubah perilaku perani ke arah yang dinginkan kelompok tani.

  1. 2. Rodemptive Movement

Gerakan ini lebih luas dibandingkan dengan alterative movement, karena yang hendak dicapai ialah perubahan menyeluruh pada perilaku kelompok. Gerakan ini dicapai dengan penyuluhan, pertemuan, promosi, penyebaran leaflet/brosur secara berkala dan berkelanjutan untuk merubah perilaku semua petani ke arah yang dinginkan kelompok tani

  1. 3. Reformative Movement

Dalam gerakan ini yang hendak diubah bukan perorangan atau kelompok petani melainkan masyarakat di sekitar kelompok petani namun lingkup yang hendak diubah hanya segi-segi tertentu masyarakat, misalnya gerakan penggunaan bahan-bahan hayati dalam budidaya pertanian.

  1. 4. Transformative Movement

Gerakan ini merupakan gerakan untuk mengubah masyarakat secara menyeluruh, misalnya gerakan yang mempelopori pertanian organik secara total dan utuh.

 

 

METODE PENELITIAN

Kegiatan penelitian dalam upaya menyusun konsep tentang “Tipologi Penggunaan Fungisida di Malang Raya” digambarkan dalam bagan alir penelitian sebagai berikut.

  IN  PUT                                         PROSES                                    OUT PUT

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 4.1  Bagan Alir Penelitian Penyusunan Konsep Tipologi Penggunaan Fungisida di Malang Raya

 

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain penelitian deskriptif kualitatiif  yaitu suatu penelitian yang ingin mendiskripsikan fakta dengan menggunakan teori tertentu. Dalam penelitian ini, temuan magna atau konsep tentang penggunaan fungisida di Malang Raya akan dianalisis berdasarkan teori Tipologi Gerakan Sosial (Aberle dalam Kornblum, 2009).

Informan penelitian adalah petani di  Malang Raya. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Jumlah subyek penelitian  sebanyak 15 (lima belas) petani.  Fokus yang diteliti dalam penelitian ini adalah  1) tipologi penggunaan fungisida sintesis di Malang Raya, dan 2) tipologi penggunaan fungisida organik di Malang Raya yang meliputi: identifukasi jenis penyakit jamur, jenis fungisida yang digunakan, dosis penggunaan, frekuensi penggunaan, dan gerakan sosial penggunaan fungisida.

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah  wawancara mendalam dan observasi partisipatori. Wawancara mendalam (Indepth Interview) dilakukan kepada petani di  Malang Raya. Sedangkan observasi partisipatori digunakan untuk mengamati perilaku petani dalam menggunakan fungisida. Untuk menjamin kepercayaan data yang diperoleh, maka kriteria yang digunakan untuk pengecekan keabsahan data dalam penelitian ini meliputi: 1) keteralihan (transferabiliy) dengan menyediakan data deskriptif secukupnya untuk membuat keputusan tentang pengalihan, 2) kriteria keberbantungan (dependability), yang dilakukan dengan  meninjau dan memperhitungkan semua hal yang bersangkutan dengan data penelitian. Hal ini dilakukan dengan  menjaga kehati-hatian, sehingga terhindar dari kemungkinan terjadinya kesalahan dalam pengumpulan dan penginterpretasian data, dan 3) kepastian (Confirmability), yang dilakukan dengan mengadakan kesepakatan atau pengecekan berulang dengan sumber data agar data yang diperoleh bersifat obyektif.

Analisis data yang digunakan  dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dengan cara analisis isi (content analysis). Analisis isi adalah suatu teknik yang sistematik untuk menganalisis makna pesan dan cara mengungkapkan pesan. Langkah yang dilakukan pada analisis isi dalam penelitian ini menggunakan Interactive Model dari Miles dan Huberman (Miles & Huberman, 1994). Model ini mengandung 4 komponen yang saling berkaitan, yaitu (1) pengumpulan data, (2) penyederhanaan atau reduksi data, (3) penyajian data, (4) penarikan dan pengujian atau verifikasi simpulan.

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 4. 2 Analisis Isi Model Interaktif

(Sumber: Miles & Huberman, dengan modifikasi, 1994)

 

Magna atau konsep tentang tentang penggunaan fungisida di Malang Raya akan dianalisis berdasarkan teori Tipologi Gerakan Sosial (Aberle dalam Kornblum, 2009).

 

 

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tipologi Penggunaan Fungisida di Kota Batu

Tanaman yang dibudidayakan oleh Kelompok Tani Mulya Desa Tawang Argo, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu adalah tanaman cabai, terung, tomat dan jagung. Dalam pembudidayaan ditemukan berbagai kendala yang disebabkan adanya mikroba patogen baik bakteri maupun jamur. Penyakit yang disebabkan oleh jamur patogen dapat menyebabkan terganggunya pertumbuhan tanaman. Pengendalian penyakit yang disebabkan oleh jamur ditanggulangi dengan pemakaian fungisida baik sintetis maupun alami (Apriani, 2014, Susilo, 2005, Yuinafsi, 2002).

Fungisida yang digunakan oleh Kelompok Tani Mulya Kota Batu adalah jenis fungisida sintetik karena pengaruhnya dalam menghambat pertumbuhan jamur patogen dapat dilihat secara cepat. Kelompok tani mulya saat ini tidak menggunakan fungisida alami karena dirasa bahwa fungisida alami berpengaruh lambat dalam menghentikan pertumbuhan jamur patogen pada tanaman.  Kelompok Tani Mulya Kota Batu menggunakan fungisida sintetis sejak tahun 90-an pada saat era petani awam. (Narasumber: Abd. Mujib, 2015).

Penggunaan fungisida sintetis disarankan oleh perusahaan dan kelompok tani mengikuti saran perusahaan tersebut karena hasil yang diberikan oleh fungisida sintetis dapat dilihat secara cepat. Dalam kelompok tani tersebut, ada anggota aktif dan anggota pasif. Anggota yang menggunakan saran dari perusahaan sebagian besar adalah anggota aktif” begitu tutur Abdul Mujib Sekretaris Kelompok Tani Mulya Kota Batu.

 

Dengan demikian Tipologi Penggunaan Fungisida di Kota Batu termasuk dalam tipologi Alterative Movement (gerakan alternatif). Menurut Aberle dalam Kornblum (2009)  tipologi adalah upaya mengelompokan sesuatu berdasarkan karaterisktik tertetntu. Sedangkan yang dimaksud dengan Alterative Movement merupakan gerakan yang bertujuan atau berdampak untuk merubah sebagian perilaku perorangan. Dalam kategori ini dapat kita masukan berbagai penyuluhan, pertemuan, promosi, penyebaran leaflet/brosur yang kadangkala dilakukan untuk merubah perilaku perani ke arah yang dinginkan kelompok tani.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 5.1 Wawancara dengan Bapak Abdul Mujib Sekretaris Kelompok Tani Mulya Kota Batu

 

Fungisida sintetik yang digunakan oleh Kelompok Tani Mulya Kota Batu adalah Antracol dan Octanil. Antracol adalah fungisida yang mengandung bahan aktif ++ Zine yang termasu jenis fungisida kontak yang bersifat protektif, cara kerjanya dengan menyemprotkan fungisida langsung ke tanaman yang terkena jamur. Dosis yang disarankan adalah 1-2 g/l (500-1000 L air/ha) atau 2-4 g/l (500-1000 L air/ha) sesuai dengan jenis dan kerusakan tanaman, fungisida ini dapat menyebabkan keracunan. Jika terjadi keracunan pertolongan pertama yang dilakukan adalah dengan memindahkan penderita ke area yang berudara segar, mencuci tangan dan segera menghubungi dokter. Octanil adalah fungisida dengan bahan aktif klorotaronil 75%, termasuk jenis fungisida kontak, cara kerjanya dengan menyemprotkan fungisida langsung ke tanaman yang terkena jamur. Dosis yang disarankan adalah 0,75-1,5 g/l atau sesuai dengan jenis dan kerusakan tanaman, fungisida ini dapat menyebabkan keracunan. Jika terjadi keracunan pertolongan pertama yang dilakukan adalah tanggalkan pakaian yang terkena fungisida, mencuci tangan dan segera menghubungi dokter (Narasumber: Abd. Mujib, 2015).

Penggunaan fungisida sintetis secara terus-menerus dapat menyebabkan resistensi patogen, keracunan pada manusia dan mencemari lingkungan (Apriani, 2014, Pimentel, 2001, Kenmore, 2007). Fungisida merupakan suatu zat yang digunakan untuk menghambat bahkan membunuh/membasmi jamur. Fungisida dibedakan menjadi dua yaitu fungisida alami dan fungisida organic. Fungisida alami adalah jenis fungisida yang terbuat dari bahan-bahan alami yang tersedia di alam, Contoh : kulit randu, minyak rosemary, minyak cengkeh, minyak pohon teh, dan lain sebagainya. Sedangkan fungisida sintetis adalah fungisida yang dibuat dari bahan-bahan kimia, Contoh : Fenarimol, Fenamidon (Susilo  2005). Penggunaan fungisida dalam pengendalian jamur pada tanaman sudah sering dilakukan oleh masyarakat pertanian. Pemakaian fungisida hendaknya dilakukan secara hati-hati khususnya fungisida jenis sistemik (Djunaedi, 2008). Penggunaan fungisida sangat rentan terhadap pencemaran lingkungan. Oleh karena itu, perlunya penggunaan fungisida yang tepat dosis dan tepat sasaran (Susilo, 2005). Berbagai penyakit yang disebabkan oleh jamur yang bersifat parasit pada tanaman diantaranya adalah penyakit bulai pada jagung yang disebabkan oleh Peronosclerospora maydi (Oka, 2005). Penyakit layu daun pada tanaman tomat disebabkan oleh serangan Fusarium sp (Apriani, 2014). Pada tanaman cabai penyakit yang disebabkan oleh jamur Colletotrichum capsici adalah antraknosa. Penyakit ini adalah menyakit yang menjadi kendala utama dalam pembudidayaan tanaman cabai karena jamur ini dapat menyerang setiap bagian tanaman (Efri, 2010).

 

Tipologi Penggunaan Fungisida  di Kota Malang

Tanaman yang paling banyak dibudidayakan oleh Kelompok Tani Jaya Desa Tunggulwulung Kecamatan Lowokwaru Kota Malang adalah tanaman padi. Semua anggota kelompok tani menggunakan fungisida sintesis jika tanaman padinya terserang oleh jamur. Dulu pernah dilakukan penyuluhan oleh Pemerintah Daerah tentang penggunaan fungisida organik, tetapi ketika dipraktekan, hasilnya kurang bagus dan efeknya lama sekali, sehingga sebagian besar anggota Kelompok Tani Jaya tetap menggunakan fungisida sintetis sampai sekarang.

Kulo ndamel obat jamur pabrik, pun dangu kulo mboten ndamel obat jamur damelan piyambak, rumiyen dhamel tapi kurang manjur hasilipun” begitu tutur Bapak Sardani Anggota  Kelompok Tani Jaya Desa Tanggulwulung Kecamatan Lowokwaru Kota Malang

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 5.2 Wawancara dengan Bapak Sardani dan Bapak Martono Anggota  Kelompok Tani Jaya Desa Tanggulwulung Kecamatan Lowokwaru Kota Malang

 

Arahan penggunaan fungisida sintesis dilakukan oleh sales produk fungisida sintesis dan tidak semua anggota Kelompok Tani Jaya mengikuti petunjuk sales tersebut. Begitu pula dengan arahan penggunaan fungisida organik juga beberapa kali dilakukan tetapi juga hanya sebagian kecil anggota Kelompok Tani Jaya yang mengikuti saranya tersebut. Alasan sedikitnya anggota Kelompok Tani Jaya yang mengikuti saran penggunaan fungisida organik  dikarenakan bahan baku yang sudah relatif sulit ditemukan diwilayah Kota Malang dan juga terkait dengan efektivitas fungisida yang perlu waktu lama.

Dengan demikian tipologi penggunaan fungisida di Kabupaten Malang termasuk dalam tipologi Alterative Movement (gerakan alternatif). Hal ini dikarenakan gerakan penyadaran anggota kelompok tani melalui berbagai media penyuluhan sales produk dan pemerintah daerah baru menyebabkan perubahan pada sebagian anggota kelompok tani saja.

 

 

 

Tipologi Penggunaan Fungisida di Kabupaten Malang

Tanaman yang di budidayakan oleh Kelompok Tani Sumber Urip I dan Kelompok Tani Sumber Urip II Desa Wonorejo Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang sebagian besar adalah padi, kol, gubis, tomat, kacang panjang, bayam, sawi, kacang panjang, cabai, dan bawang merah. Kertika menghadapi serangan jamur, Kelompok Tani Sumber Urip lebih mengutamakan penggunaan fungisida organik jika dibandingkan dengan penggunaan fungisida sintetis. Hal ini disebabkan beberapa hal, yaitu sebagai berikut.

  1. Desa Wonorejo terdapat potensi hayati yang dapat digunakan bahan pembuatan fumgisida organik, misalnya daun sirih, jahe, bawang putih, kunir, kencur, daun cengkeh, bunga kertas, bunga bougenville, dan lain sebagainya.
  2. Metode pembuatan fungisida organik mudah dengan memfermentasi bahan fungisida organik dengan moebillin (inokulum fermentasi).
  3. Harga fungisida organik jauh lebih murah jika dibandngkan dengan harga fungisida sintesis.
  4. Penggunaan fungisida organik fungisida organik memiliki dampak pada kesehatan dan lingkungan yang sangat sedikit.

Sebagai kelompok tani organik Kelompok Tani Sumber Urip terus melakukan  upaya penggunaan sumber daya organik baik pupuk, insektisida, herbisida, maupun fungisida. Dengan berkerjasama dengan Universitas Muhammadiyah Malang, Kelompok Tani Sumber Urip terus melakukan penyadaran kepada semua anggota kelompok tani melalui penyuluhan, rapat rutin bulanan, poster, dan leaflet. Hasilnya memang cukup mengembirakan, hampir semua anggota kelompok tani menggunakan sumber daya organik baik pupuk, insektisida, herbisida, maupun fungisida. Hanya saja beberapa petani memang masih juga menggunakan fungisida sintesis manakala penggunaan fungisida organik kurang efektif dan efisien, terutama pada serangan jamur yang kronik (menahun) dan massif (luas).

Meh sedanten anggota kulo teng mriki niki ndamel fungisida organik, nanging menawi jamure rewel konco-konco nggeh kepekso dhamel fungisida sintesis (bhs.jawa)” begitu tutur Abdul Fatah Ketua Kelompok Tani Sumber Urip I Desa Wonorejo Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 5.3 Suasana yang Akrab Ketika Small Group Dicussion Dilakasanan dalam Upaya Mendapatkan Konsep Tipologi Penggunaan Fungisida di Kabupaten Malang

 

Dengan demikian tipologi penggunaan fungisida di Kabupaten Malang termasuk dalam tipologi Alterative Movement (gerakan alternatif). Hal ini dikarenakan gerakan penyadaran anggota kelompok tani melalui berbagai media (penyuluhan, rapat rutin bulanan, poster, dan leaflet) baru menyebabkan perubahan pada sebagian anggota kelompok tani saja.

 

KESIMPULAN DAN SARAN

            Berdasarkan hasil penelitian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal yaitu sebagai berikut.

  1. Tipologi penggunaan fungisida di Kota Batu termasuk dalam tipologi Alterative Movement (gerakan alternatif) yang merupakan gerakan yang bertujuan atau berdampak untuk merubah sebagian perilaku kelompok tani dalam hal penggunaan fungisida.
  2. Tipologi penggunaan fungisida di Kabupaten Malang termasuk dalam tipologi Alterative Movement (gerakan alternatif). Hal ini dikarenakan gerakan penyadaran anggota kelompok tani melalui berbagai media penyuluhan sales produk dan pemerintah daerah baru menyebabkan perubahan pada sebagian anggota kelompok tani saja.
  3. Tipologi penggunaan fungisida di Kabupaten Malang termasuk dalam tipologi Alterative Movement (gerakan alternatif). Hal ini dikarenakan gerakan penyadaran anggota kelompok tani melalui berbagai media (penyuluhan, rapat rutin bulanan, poster, dan leaflet) baru menyebabkan perubahan pada sebagian anggota kelompok tani saja.

Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan tersebut di atas, maka dapat disarankan beberapa hal yaitu sebagai berikut.

  1. Perlu dilakukan penyadaran penggunaan fungisida organik ke kelompok tani dengan memanfaatkan berbagai bentuk media penyuluhan diantaranya adalah: penyuluhan, pertemuan rutin bulanan, poster, leaflet, video, iklan media cetak/elektronik, dan temu kreasi kelompok tani.
  2. Perlu dilakukan penelitian efektivitas penggunaan berbagai bentuk media penyuluhan diantaranya adalah: penyuluhan, pertemuan rutin bulanan, poster, leaflet, video, iklan media cetak/elektronik, dan temu kreasi kelompok tani dalam upaya edukasi public.
  3. Perlu dilakukan penelitian kajian pemetaan faktor sosiokultur, ekomoni, dan demografi penggunaan fungisida organic.

 

DAFTAR PUSTAKA

Adawiah, 2014. Fungisida. Makalah, Universitas Lampung, Lampung.

Adnyana, 2011. Dampak Penggunaan Fungisida. Makalah, Universitas Brawijaya, Malang

Apriani Lastri, Suprapta Dewa Ngurah dan Temaja I Gede Rai Maya. 2014. Uji Efektivitas Fungisida Alami Dan Sintetis Dalam Mengendalikan Penyakit Layu Fusarium Pada Tanaman Tomat Yang Disebabkan Oleh Fusarium Oxysporum F.Sp. Lycopersici. Jurnal Agroekoteknologi Tropik. Denpasar: Universitas Udaya. Vol. 3 No 3. Juli 2014. Halaman 137-147.

Djojosumarto, Panut.  2000.  Teknik Aplikasi Pestisida Pertanian.  Kanisius. Yogyakarta.

 

 

Djunaedy Achmad. 2008. Aplikasi Fungisida Sistemik dan Pemanfaatan Mikoriza dalam Rangka Pegendalian Patogen Tular Tanah Pada Tanaman Kedelai (Glycine max L.). Jurnal Embrio. Madura: Universitas Trunojoyo. Vol. 5 No. 2. Desember 2008. Halaman 149-157.

Efri. 2010. Pengaruh Beberapa Fungisida Nabati Terhadap Keterjadian Penyakit Bulai Pada Jagung Manis (Zea Mays Saccharata). Jurnal HPT Tropika. Lampung: Universitas Lampung. Vol. 10 No 1. Maret 2010. Halaman 052-058.

Girsang, W, 2009. Dampak Negatif Penggunaan Fungisida. Fakultas Pertanian, Universitas Simalungun.

Herminarto, Sofyan. 2006. Implementasi pembelajaran Berbasis Proyek Pada Bidang Kejuruan. Cakrawala Pendidikan. Yogyakarta: LPM UNY.

Hidayat Natawigena dan G. Satari. 1981. Kecenderungan Penggunaan Pupuk dan Pestisida dalam Intensifikasi Pertanian dan Dampak Potensialnya Terhadap Lingkungan. Seminar terbatas  19 Maret 1981 Lembaga Ekologi Unpad Bandung.

Hriday Chaube, V.S. Pundhir, 2006.  Crop Diseases and Their Management. Prentice-Hall of India Pvt.Ltd.  ISBN 978-81-203-2674-3.  Page.292-3

Kenmore, P.E. 2007. IPM Means the Best Mix. Rice IPM Newsletter. VII (7). IRRI. Manila. Philippines.

Kornblum. William, 2009. Sosiology in a Changing World,  New York: MC Graw Hill

Mc Ewen, F.L. and G.R.Stephenson. 2009. The Use and Significance of Pestiside in The Environment. A Wiley Intercience Publication. John Wiley & Sons, New York.

Mulyani, S. dan M. Sumatera. 2002. Masalah Residu Pestisida pada Produk Hortikultura. Simposium Entomologi, Bandung 25 – 27 September 1982.

Nuraini, S.  2014.  Fungisidahttp://syienaainie.blogspot.com/.  Diakses pada tanggal 12 Agustus 2015.

Oka, Ida Nyoman. 2005. Pengendalian Hama Terpadu dan Implementasinya di Indonesia. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Pimentel, D. 2001. Ecological Effects of Pesticides on Nontarget Species. Office of Science and Technology. Washington D.C. Stack Number 4106-0029.

Pimentel, D. 2002. Environmental Aspects of Pest Management. Chemistry and World Food Suplies. Chemrawn II. Pergamon Press.

Sekarsari Rara Ayu, Prasetyo Joko Dan Tri Maryono. 2013. Pengaruh Beberapa Fungisida Nabati Terhadap Keterjadian Penyakit Bulai Pada Jagung Manis (Zea Mays Saccharata). Jurnal Agrotek Tropika.    Lampung: Universitas Lampung. Vol. 1 No 1. Januari 2013. Halaman 098-101.

Smith, R.F and J.L. Apple. 2008. Principles of Integrated Pest Control. IRRI Mimeograph.

Smith, R.F.2008. Distory and Complexity of Integrated Pest Management. In: Pest Control Strategis. S.H. Smith and D. Pimentel (Ed.). Acad. Press. New York.

Susilo, Pambudi, dkk. 2005. Pengaruh Penggunaan Fungisida Sintetis Dan Trichoderma sp. Secara Tunggal atau Gabungan Terhadap Penyakit Hawar Pelepah Daun Padi Effect Of Synthetic Fungicidal Application Alone Or Mixed With Trichoderma sp. On Sheat Blight Of Rice. Jurnal Pembangunan Pedesaan Vol. 5 No. 1. April 2005. Halaman 34-41

Untung, K. 2007. Pengantar Analisis Ekonomi Pengendalian Hama Terpadu. Andi Offset. Yogyakarta.

Yunafsi. 2002. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Penyakit Dan Penyakit Yang Disebabkan Oleh Jamur. Jurnal digitized. Sumatra Utara: Universitas Sumatra Utara. Halaman 1-15.